Selasa, 27 Oktober 2009

Pentingnya Psikologi dalam Penanganan Korban Gempa Sumatera Barat


Pada hari Rabu, 30 September 2009 pada pukul 17:16:09 WIB, gempa 7,6 skala ricther (SR) mengguncang Pariaman, Sumatera Barat. Pusat gempa berada di arah 57 kilometer barat daya Pariaman dengan kedalaman 71 kilometer. Gempa bumi adalah getaran yang terjadi permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terrjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan. Hingga saat artikel ini dibuat (10/10) tim evakuasi baru berhasil menemukan 506 korban tewas. Adapun 481 korban lainnya hingga kini masih dalam proses pencarian. “Di wilayah Padang, tim terjun di empat lokasi yang diduga menelan korban cukup banyak yakni di Hotel Ambacang, LIA, Sentra Pasaraya dan Ruko Ayu,”,” ujar Kepala Danrem 032 Wirabraja, Kolonel Infrantri Mulyono (Tempo Interaktif, 8/10). Hingga saat ini proses evakuasi dilakukan oleh seluruh satuan baik dari Satuan tentara Nasional Indonesia maupun dari Kepolisian, “Mereka juga turut diperbantukan oleh sejumlah relawan baik dari dalam dan luar negeri,” ujar Mulyono. Masih banyak gempa susulan yang terjadi setelah gempa pada hari Rabu. Tak kurang dari 898 kali gempa susulan di sekitar pusat awal di 57,5 kilometer barat daya Kota Pariaman. Yang bisa dirasakan manusia terhitung 45 kali. "Semua data itu terekam di kantor BMKG. Tapi, itu tidak membahayakan," kata Kepala BMKG Sumatera Barat Taufik Gunawan didampingi Kabag Pemberitaan Humas Setprov Sumbar Zulnadi (10/10).

Hingga saat ini masih banyak pasien luka-luka yang dirawat di rumah sakit, misalnya di Rumah Sakit Muhammad Jamil Padang, Sumatera Barat, yang sejak gempa melanda, pasien tidur di tenda-tenda darurat sudah masuk ke ruangan bangsal masing-masing. Namun ada seorang pasien laki-laki tua yang tidak mau kembali ke bangsal dan memlih tetap bertahan di tenda. Laki-laki tua ini mengaku trauma dengan gempa yang telah menyebabkan kakinya luka ketika berusaha menyelamatkan diri. Nah dari sini dapat kita lihat bahwa pasien tidak hanya menderita luka serius secara fisik, akan tetapi menderita luka serius secara psikis (jiwa) juga berupa trauma. Gangguan stress pasca-trauma atau Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) biasa terjadi pada orang yang terkena bencana, baik alam (misalnya angin topan) atau buatan manusia (misal kecelakaan mobil hebat), berhubungan dengan peperangan, mengalami atau melihat kekerasan fisik atau seks. Mengalami atau melihat peristiwa yang traumatik yang mengancam kematian atau luka serius bisa mempengaruhi seseorang lama setelah pengalaman berlalu. Gempa di Padang meyebabkan beberapa orang mengalami gangguan stress post-traumatik. Mimpi buruk biasa terjadi dan kadangkala peristiwa hidup kembali sebagaimana jika terjadi (flashback). Orang secara terus menerus menghindari benda yang mengingatkan pada trauma. Gejala depresi dan perasaan bersalah biasa terjadi, misal mereka bisa merasa bersalah bahwa ketika mereka bertahan hidup sedangkan orang lain tidak. Dari permasalahan ini lalu timbul pertanyaan, apakah upaya pencegahan atau preventif lebih baik daripada penanganan setelah gejala PTSD itu terjadi?

Menurut pemikiran kami, upaya preventif lebih tepat dilakukan sebelum PTSD itu terjadi. Sebenarnya bukannya kami menyalahkan penanganan setelah gejala PTSD terjadi, akan tetapi alangkah lebih baik bila kita mencegah gejala itu muncul. Slogan masyarakat ”mencegah lebih baik daripada mengobati” mungkin lebih akrab di telinga kita. Apabila kita mendengar slogan tersebut pasti yang muncul di benak kita adalah upaya pencegahan secara medis sebelum sakit secara fisik dengan memakan buah-buahan dan sayuran. Ternyata slogan itu juga cocok untuk penyakit-penyakit jiwa (psikis). Seperti kasus korban gempa padang yang mengalami trauma berat pasca gempa di atas, sepertinya tidak dilakukan upaya preventif oleh psikolog untuk mencegah terjadinya trauma. Padahal upaya preventif lebih penting daripada menunggu orang terkena trauma dahulu baru dirawat.

Ada baiknya bagi pemerintah untuk membentuk sebuah tim khusus yang melayani masyarakat yang terkena bencana. Tim itu harus lengkap mulai dari tim evakuasi, medis, logistik, keamanan, bahkan psikologi. Peran psikolog di sini sangat penting karena mengupayakan untuk mencegah terjadinya trauma. Psikolog menangani korban segera setelah bencana terjadi, akan tetapi penaganan tidak secara langsung. Observasi dilakukan dahulu oleh psikolog untuk menentukan apakah korban lebih membutuhkan perawatan secara medis terlebih dahulu atau lebih membutuhkan bantuan yang lain. Psikolog bisa mendampingi korban misalnya dalam mencari keluarga korban yang hilang atau harta benda yang ingin diselamatkan. Untuk hal ini jiwa besar seorang psikolog harus ditanamkan. Korban yang telah berkumpul bersama keluarganya akan merasa sangat tenang dan nyaman, mulai saat itulah psikolog mulai melakukan diagnosa terhadap korban. Apabila korban terindikasi akan mengalami trauma maka psikolog harus menyusun suatu langkah-langkah intervensi atau treatment yang akan diberikan. Saat proses pencegahan ini dilakukan, korban harus dipantau terus akan kebutuhannya. Pada dasarnya kebutuhan fisiologis seperti makan, minum, istirahat, dan lain sebagainya harus terpenuhi lebih dahulu. Sesuai teori hirarki kebutuhan Abraham Maslow dimana kebutuhan fisiologis menjadi dasar sebelum kebutuhan-kebutuhan lainnya terpenuhi. Akan tetapi sekarang adalah masalah budaya masyarakat Indonesia pada umumnya masih merasa canggung untuk mengeluarkan isi hatinya kepada seorang psikolog. Karena orang dengan lingkungan berkebudayaan kolektivisme akan lebih mudah mengungkapkan perasaan positif kepada orang diluar keluarga dan menekan perasaan negatif untuk tidak keluar. Padahal perasaan negatif inilah yang bakal mengindikasikan apakah orang ini mengalami masalah, dan sejauh mana keseriusan permasalahannya. Tentunya akan sangat sulit untuk mengubah budaya seperti itu yang telah melekat sejak nenek moyang kita. Untuk mengatasi hal itu, sebaiknya psikolog lah yang lebih bisa menyesuaikan diri kepada korban dengan cara kedekatan secara emosional. Jadi psikolog melakukan upaya preventif bersamaam dengan pendekatan emosional yang kuat. Solusi ini mungkin dapat menjawab permasalahan tentang pentingnya upaya preventif, akan tetapi muncul suatu permasalahan lagi yakni mungkinkah bantuan dari tim psikolog datang tepat waktu sebelum terjadi trauma?

Menurut pemikiran kami, untuk mencukupi Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang psikologi seharusnya setiap daerah memiliki fakultas psikologi dan di setiap fakultas tersebut dibentuk semacam pusat psikologi bencana. Dengan cara ini dua permasalahan sekaligus dapat terjawab yakni masalah SDM dan penanggulangan bencana secara cepat. Untuk itu upaya pemerintah sangat diharapkan agar cita-cita ini terealisasikan.

Jika tadi kita membicarakan upaya preventifnya, kini bagaimana dengan korban bencana yang sudah terlanjur mengalami PTSD? Korban bencana yang mengalami gangguan post-traumatik sebaiknya dirawat dengan metode Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Terapi ini mempunyai dua komponen utama. Pertama, menolong merubah pola pikir atau pemikiran yang ada setelah trauma. Kedua, mencoba mengurangi situasi kecemasan dalam keadaan yang mengundang munculnya ingatan akan masa lalu yang negatif. Konsultasi psikologi dan grup manajemen kecemasan adalah bentuk lain yang termasuk dalam terapi. Baiknya dalam konsultasi psikologi akan melibatkan terapi berjangka panjang setelah trauma agar penanganan dapat tuntas. Dalam konsultasi psikologi individu bisa membicarakan semuanya. Sedangkan dalam grup manajemen kecemasan, antar individu saling melakukan sharing atau berbagi bagaimana cara melawan kecemasan bersama.

Pada intinya pencegahan munculnya gejala seperti trauma adalah cara yang terbaik untuk menolong korban bencana. Dengan begitu korban tidak akan merasakan bagaimana rasanya trauma dan ketakutan-ketakutan akan hal lain yang menyangkut bencana dan tidak terlalu sulit dibandingkan upaya penyembuhan jika korban mengalami trauma. Selain itu membentuk suatu lingkungan keluarga maupun sosial yang kondusif untuk mencegah terjadinya trauma dan membantu penyembuhan korban. Oleh sebab itu psikologi sangat penting dalam membantu permasalahan korban bencana.


ditulis oleh: Christanto Maulana A. (Profesor 2/ Doktor sosial di PARC)